BREAKING NEWS

About

Selasa, 27 Juli 2021

Asyiknya Assesment of Learning dalam Pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam Kelas III

 


Oleh : Fathun Nasihin*

Dalam sebuah proses pembelajaran, sering kali seorang pendidik dihadapkan dengan berbagai macam keadaan di luar rencana pelaksanaan pembelajaran yang sudah dirancangnya. Hal ini bisa disebabkan karena daya tangkap, minat dan motivasi peserta didik yang berbeda-beda terhadap materi yang disajikan.  

Pada dasarnya, seorang pendidik dikatakan berhasil dalam mengorganisir kelas manakala mampu mengakomodasi berbagai karakter anak didiknya. Seorang pendidik mutlak harus mengetahui tipe-tipe belajar anak didiknya agar dalam penyampaian materi pembelajaran dapat diserap dan ditangkap secara optimal oleh para peserta didik.

Dari pengetahuan dan catatan-catatan tentang tipe belajar itulah kemudian digunakan oleh seorang pendidik untuk merumuskan teknik dan cara yang tepat untuk menuntaskan materi pembelajarannya. Selain hal-hal tersebut, ada satu lagi cara yang bisa diaplikasikan seorang pendidik dalam upayanya memaksimalkan proses pembelajaran, yaitu menggunakan teknik asesemen formatif.

Sebelum melaksanakan asesemen formatif, seorang pendidik perlu melakukan pendekatan kepada peserta didik, hal ini dapat dilakukan dengan adanya interaksi antara seorang pendidik dengan anak didiknya, peserta didik dengan temannya atau peserta didik dengan sumber belajar yang ada.

Seorang peserta didik sebenarnya mampu menjadi guru untuk dirinya sendiri, ia pun bisa menjadi sumber belajar untuk peserta didik yang lainnya. Di sinilah kekreatifan seorang pendidik sangat dibutuhkan. Seorang pendidik harus mampu memunculkan potensi anak didiknya yang masih tersembunyi, bukan hanya tentang bagaimana cara membuat peserta didik puas dengan nilai atau angka yang didapatkannya, akan tetapi bagaimana seorang pendidik mampu untuk menjadi stimulus untuk membentuk karakter murid yang cerdas, kreatif dan berkembang.

Pada kesempatan kali ini, perkenankan saya untuk berbagi pengalaman tentang pelaksanaan asesemen formatif dalam pembelajaran mata pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam kelas tiga di MI Islamiyah Ma’arif NU Kendal. Kebetulan materi yang saya sampaikan adalah tentang kelahiran Nabi Muhammad SAW.

Kegiatan pembelajaran kami awali dengan berdo’a bersama. Kemudian dilanjutkan dengan penyampaian motivasi belajar pada para peserta didik. Saya ajak mereka untuk merenung dan menyadari pentingnya mengetahui sejarah kelahiran manusia paling sempurna di dunia yang telah membawa risalah agama paling mulia sebagai petunjuk untuk umat manusia. Peserta didik juga diberikan pemahaman jikalau materi yang akan dipelajari ini tidak hanya untuk persiapan menghadapi ujian di sekolah saja melainkan sebagai bekal pengetahuan yang wajib diketahui oleh seluruh umat islam di dunia.

Setelah peserta didik termotivasi, barulah memberikan stimulus pengantar materi dengan memutarkan film pendek peristiwa penyerangan Ka’bah oleh pasukan bergajah di layar proyektor yang ada di depan kelas. Penggunaan media audio visual ini sangatlah efektif untuk memantik rasa ketertarikan dan keingintahuan para peserta didik.

Setelah pemutaran film tersebut, saya melemparkan pertanyaan pada beberapa anak yang kemudian dijawab dengan bahasa mereka sendiri seputar peristiwa yang mengiringi kelahiran Nabi Muhammad SAW. Dari asesemen formatif inilah kemudian saya mendapatkan data dari masing-masing peserta didik, sejauh mana mereka bisa menangkap point penting dari materi audio visual yang tersaji.

Tahap pembelajaran selanjutnya adalah pengembangan. Dari penuturan para peserta didik, ada yang mengembangkan jawaban dan menghubungkannya dengan rasa penasaran mereka. Salah satu contoh pertanyaan yang mereka kembangkan, ketika raja Abrahah pemimpin pasukan gajah hendak menghancurkan ka’bah, muncul sekumpulan burung Ababil yang membawa batu dan melempari Abrahah dan para pasukannya dengan kerikil dan batu panas dari neraka hingga semua pasukan merintih kesakitan hingga tewas. Dari situ muncul sebuah pertanyaan, Mengapa sekumpulan burung tersebut menyerang para pasukan gajah? Siapa yang memerintahkannya? Kerikil dan Batu sejenis apa yang dibawa oleh sekumpulan burung Ababil tersebut?

Dari rasa penasaran tersebut, saya kemudian mengajak mereka bersama-sama membaca surat Al Fiil beserta artinya. Mereka sangat antusias mengikuti karena di surat yang mempunyai arti gajah itulah mereka bisa menemukan jawaban dari rasa penasaran.

Dari sekian anak didik di kelas, pastinya tidak semua cakap dalam membaca Al Qur’an. Melalui pembacaan surat Al Fiil secara bersama-sama, saya juga mendapatkan data peserta didik, siapa saja yang sudah lancar, kurang lancar serta belum lancar dalam melafalkan Al Qur’an. Data ini saya tulis dalam catatan anekdot sehingga di lain kesempatan, saya bisa memfollow up para peserta didik yang masih butuh bimbingan dalam membaca Al Qur’an.

Setelah membaca bersama-sama, selanjutnya saya menjelaskan arti dari surat Al Fiil serta memberi keterangan tambahan sesuai dengan materi yang sedang dipelajari, yaitu tentang kelahiran Nabi Muhammad SAW. Para peserta didik pun membuka buku paketnya masing-masing.

Pada tahap akhir, untuk menjaga semangat dan atusias peserta didik agar tetap mood dalam menerima pelajaran. Saya mengaplikasikan assessment as learning yang berupa pemberian Quiz. Tekniknya, saya membagi lembar kertas HVS kosong pada semua peserta didik. Dengan alat tulis di tangan, mereka harus bisa menjawab singkat pertanyaan seputar materi yang sudah tersampaikan mulai dari awal hingga akhir tadi.

Untuk memacu semangat bersaing antar peserta didik, maka menjawabnya harus dengan cara rebutan. Bagi yang salah menjawab atau terlambat menuliskan jawaban, maka ia harus dieliminasi, artinya ia tidak boleh ikut lagi menjawab. Namun jika ada yang menjawab dengan cepat dan tepat sampai babak terakhir, maka peserta didik itulah pemenangnya. Pada akhir sesi, saya memberikan hadiah berupa bungkusan pensil 2b sebagai apresiasi terhadap prestasi peserta didik tersebut. Diharapkan dengan adanya apresiasi ini bisa membangkitkan semangat para peserta didik lain untuk berpacu dalam prestasi.

Dengan berakhirnya Quiz, maka berakhir pula proses pembelajaran. Sebelum berdo’a untuk pulang, terlebih dahulu saya memberikan refleksi berupa kesempatan bertanya tentang materi yang sudah dipelajari tadi. Di sesi ini juga para peserta didik diajak untuk jujur memberi penilaian terhadap diri dan temannya (Self and Peer Assesment), sejauh mana mereka menguasai materi pembelajaran. Cara yang paling menarik yaitu dengan tunjuk lima jari. Berikan hanya tiga jari jika masih kurang memahami materi, empat jari jika sudah faham tetapi masih ada yang kurang, dan tunjuklah lima jari jika sudah benar-benar faham dengan semua materi. Dari sini juga, saya bisa mengukur sejauh mana tingkat keberhasilan penyampaian materi untuk menjadi acuan pada pertemuan selanjutnya.

Setelah tahap refleksi, saya memberikan motivasi agar para peserta didik tetap bersemangat belajar baik di sekolah maupun di rumah.Setelah itu mengajak para peserta didik untuk berdo’a mengakhiri pembelajaran.

Demikian praktik baik asesemen formatif yang saya terapkan pada pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam kelas tiga. Ternyata dengan pengaplikasian asesemen formatif, peserta didik lebih bisa menyerap materi pembelajaran dengan lebih mudah dan tentu saja dengan perasaan riang dan semangat. 

*Penulis adalah salah satu pendidik di MI Ma’arif NU Islamiyah Kendal , Alumni Wardah Inspiring Teacher 2021 ( WIT 21 ), Jaringan Penggerak Pendidikan Semua Murid Semua Guru ( SMSG ) , Anggota Jaringan Sekolah & Madrasah Merdeka Belajar ( JSMB ), Komunitas Guru Belajar Nusantara ( KGBN ), serta Pegiat Read Aloud lamongan.

 

 

 

Memanfaatkan Alam Sekitar Untuk Perubahan


Oleh : Sri Idamulyani*

Pada awalnya saya kira menjadi guru PAUD itu sangat mudah, banyak orang berpikir guru paud hanya mengajarkan tentang bernyanyi dan bertepuk saja. awal tahun 2010 menjadi awal saya diberi tanggung jawab menjadi kepala PAUD. Apapun lembaga itu pastilah tidak terlepas dari sebuah administrasi lembaga yang wajib kita kerjakan sesuai tuntutan dari atas, tapi ternyata di balik itu semua tujuan pendidikanlah yang paling penting.

Saat diberikan amanah untuk menjadi kepala sekolah, lembaga saya tidak mempunyai apa-apa, entah itu dari segi administrasi maupun inventaris (alat peraga) anak-anak PAUD. Bingung dan sedih pastinya, karena kita dituntut mengajarkan calistung ke anak tanpa ada kegiatan bermain yang menyenangkan untuk anak-anak.

Saya merasa sendiri ketika ingin melakukan perubahan, karena bukan dukungan yang saya dapat melainkan ketidakpercayaan teman-teman tentang apa yang ingin saya capai. Mereka berfikir saya hanya mencari sensasi saja dan hanya membuang-buang tenaga untuk hal-hal yang tidak perlu dilakukan. Padahal dengan tanggung jawab yang sudah diberikan kepada saya ini, saya ingin mewujudkan pembelajaran yang merdeka untuk anak-anak dan anak-anak bisa mengeksplorasi dirinya tanpa harus kita menjadikan mereka robot.

Saya mencoba melakukan pembelajaran yang memerdekakan anak dengan memberikan pilihan permainan untuk anak. namun di sinilah saya mengalami tantangan dan juga hambatan. Tantangan yang saya hadapi adalah pendanaan untuk kegiatan PAUD yang tidak terakomodir dengan baik, ditambah masih banyak orang tua yang belum sadar akan pentingnya pendidikan. Mereka maunya sekolah itu gratis, anak hanya cukup diajari calistung tanpa ada kegiatan bermain yang bermakna pada anak.

Hal itu juga terjadi kepada guru-guru teman sejawat saya di dalam sekolah itu, mereka berfikir anak cukup diajari menyanyi, membaca, menulis dan juga doa-doa saja, tidak perlu repot-repot menyiapkan permainan yang hanya menghabiskan waktu, tenaga dan juga dana.  Dan hambatan yang saya hadapi adalah Mereka para guru tidak mau bersusah payah untuk memberikan pembelajaran melaui bermain yang bermakna kepada anak, yang difikirkan mereka hanya berangkat ngajar dan pulang tanpa ada evaluasi dan juga refleksi dari kegiatan belajar mengajar.

Berangkat dari tantangan itu saya mencoba untuk mencari cara bagaimana bisa merubah mindset guru dan orangtua agar bisa peduli dengan pendidikan. Awal yang saya lakukan adalah mengadakan kegiatan parenting untuk orangtua, kegiatan tersebut saya datangkan narasumber dari ketua organisasi Himpaudi. Meski acara sederhana, namun kegiatan itu mulai membuka kesadaran orangtua.

Tidak berhenti disana saya mencari cara lain bagaimana melibatkan orangtua dalam kegiatan anak-anak di sekolah. Saya mulai mengadakan kegiatan di luar sekolah yang membutuhkan pendampingan orang tua dalam kegiatannya. Tidak perlu jauh-jauh ke tempat wisata, saya hanya memanfaatkan sumber daya alam yang ada di sekitar desa. Banyak potensi alam dan juga tempat-tempat umum yang bisa dikunjungi untuk kegiatan outdoor antara lain kantor desa, puskesmas, pasar, sawah, tempat ibadah dan juga bendungan gerak yang dimiliki pemerintah (BUMN) untuk tempat belajar anak,

Manfaat kegiatan outdoor ini sangatlah banyak yaitu mengembangkan 6 aspek perkembangan anak (NAM, kognitif, sosial emosional,fisik motorik,bahasa dan seni) juga memanusiakan hubungan antara anak, orangtua dan guru dengan kegiatan outdoor dipastikan anak memberdayakan konteks yang ada yaitu mengetahui manfaat tempat-tempat umum sehingga anak bisa membangun keberlanjutan menciptakan suatu hasil karya.

Untuk awal kegiatan banyak orang tua mengeluh karena anaknya hanya diajak bermain saja tanpa diajarkan menulis dan membaca. Namun, ketika melihat antusias anak dalam kegiatan orang tua mulai sadar bahwa mengajarkan membaca dan menulis pada anak tidak hanya melalui buku dan harus duduk di dalam ruang kelas.

Seperti contoh kegiatan menanam padi di sawah banyak sekali pelajaran dan pengalaman yang bisa dirasakan anak-anak ketika berada di sawah bermain air, tanah dan tanaman. Anak mulai mengenal apa itu arti kerjasama, anak mulai menyadari pentingnya menanam padi dan tumbuhan-tumbuhan lain, anak menyadari agar tidak membuang-buang nasi ketika makan karena menanam padi itu membutuhkan proses yang panjang hingga bisa menjadi sesuap nasi.

Selain itu anak tetap bisa bermain dengan ceria seperti bermain air di sawah, mandi di sungai dan juga makan bersama di pinggir sawah seperti yang dilakukan para petani. Aksi yang selanjutnya saya lakukan adalah bekerjasama dengan pemerintahan desa, di sini saya mengenalkan anak tentang bagaimana kita mengenal desa kita dengan cara berkunjung ke balai desa dan tempat-tempat umum lainnya. Bersyukur karena kepala desa beserta perangkat menyambut baik setiap kegiatan yang saya laksanakan, bahkan ibu kepala desa dengan bahagianya memberikan dukungan baik moril maupun materiil.

Mencari cara agar menumbuhkan kesadaran dalam pendidikan tidak hanya saya fokuskan kepada orangtua saja. yang lebih penting di sini adalah bagaimana mengajak teman sejawat kita untuk bersinergi bersama mewujudkan visi dan misi serta tujuan pembelajaran, tidak mudah ketika memberikan pengertian tentang pembelajaran yang bermakna kepada anak. langkah awal yang saya lakukan adalah mengikutkan diklat teman-teman guru agar lebih memahami bagaimana pembelajaran pada anak usia dini sebenarnya. Bukan lagi kita memerintah anak sebagai robot yang hanya melakukan perintah yang diberikan oleh guru, tapi bagaimana kita sebagai guru bisa mengerti apa yang diingkan oleh anak, Memberikan dukungan serta fasilitas yang nantinya akan digunakan anak untuk berpikir kritis.

Awal guru-guru memang sangat berat melakukan itu semua, namun seiring berjalannya waktu guru-guru mulai sadar penting pembelajaran bermain yang bermakna pada anak meski sebenarnya masih jauh dari harapan, paling tidak guru-guru tersebut mau mendukung program yang sudah saya rencanakan. Saya melibatkan banyak teman dan juga organisasi guna menfasilitasi guru-guru agar semangat dalam pembelajaran yang bermakna dan menyenangkan untuk anak.

Pelajaran yang bisa diambil dari rencana yang sudah saya lakukan adalah orangtua mulai sadar pentingnya penanaman karakter pada anak melalui kegiatan bermain yang menyenangkan. Kata ibu Ita septia Purnamasari orag tua dari Ananda zaza senang sekali di desa ada pembelajaran yang menyenangkan bisa memberikan fasilitas sesuai dengan kebutuhan anak, dan tidak harus jauh-jauh sekolah di kota karena di desa potensi alam yang bisa dimanfaatkan lebih luas dan bermakna.

Begitu dengan ibu Ririn Juliati yang dulunya pernah tinggal di Jakarta sangat senang sekali ketika ada sekolah di desa yang kegiatan pembelajarannya melibatkan orangtua di dalamnya untuk turut andil mengawasi dan membersamai anak dalam kegiatan pembelajaran yang bermakna. Ada pula beberapa guru dari luar desa yang terinspirasi memanfaatkan alam sekitar untuk kegiatan pembelajaran anak, dan tak ketinggalan apresiasi diberikan oleh pihak pemerintahan desa karena mengajarkan anak tentang budaya lokal dan kolaborasi dengan berbagai banyak mitra yang berada di desa. Strategi ini masih banyak kekurangannya baik dalam segi kemampuan professional guru maupun daya dukung yang ada di lembaga. Kita masih butuh menyeleraskan visi dan tujuan lembaga bersama para komite, orangtua, dinas terkait dan juga organisasi mitra. 

*Penulis adalah seorang Praktisi PAUD , Penggerak Jaringan Sekolah & Madrasah Merdeka Belajar ( JSMB ), Penggerak Komunitas Guru Belajar Nusantara ( KGBN ) Serta Pegiat Read Aloud Lamongan

 


 



Senin, 26 Juli 2021

Menjadi Guru yang "digugu lan ditiru"

Menjadi Guru yang digugu lan ditiru 


Oleh : Jadid Al Farisy, S.Pd

Dalam kerata basa sastra Jawa, sebutan guru mempunyai arti digugu lan ditiru. Dua kata yang sederhana namun mengandung makna yang sangat dalam. Arti tekstual dari digugu adalah dipercaya, ditaati, atau dituruti. Sedangkan ditiru, berarti yang dicontoh atau dijadikan teladan. Dari kedua kata tersebut, sudah begitu gamblang menjelaskan secara esensi bagaimana seharusnya menjadi seorang guru itu.


Begitu mendalamnya pemaknaan terhadap seorang guru dalam lingkup pemahaman masyarakat Jawa. Seseorang yang menjadi subjek untuk ditaati dan diteladani tentu saja bukan orang yang sembarangan. Ia harus benar-benar secara dhohir dan batin mempunyai daya linuwih untuk pantas dijadikan panutan. Daya linuwih di sini bisa berarti ilmunya yang nyegara dan juga akhlaknya yang mulia.

Pada hakikatnya, untuk menjadi seorang guru tidaklah mudah seperti menjalani profesi dan pekerjaan yang lain. Seorang guru terlebih dahulu dituntut untuk bisa menjadi guru bagi dirinya sendiri sebelum menjadi guru untuk orang lain.Ia harus bisa menyetel hati, ucapan, dan perilaku dirinya lebih dahulu sebelum mendidik akhlak para muridnya. Apa yang diperintahkan pada muridnya haruslah benar-benar ia telah lebih dulu mengamalkannya.

Seorang guru dalam prosesnya tidak hanya bertugas mentransfer ilmu pengetahuan saja, namun juga harus bisa mendidik dan membimbing sang murid agar mempunyai budi pekerti yang luhur. Kedua fungsi inilah yang merupakan pengejahwantahan dari makna yang tersirat dalam kata guru, digugu kealiman ilmunya, dan ditiru kewira’ian akhlaqnya.

Jika berbicara tentang guru, maka tidak sekadar tentang profesi dan status sosial di masyarakat. Lebih dari itu, sejatinya menjadi guru adalah kewajiban ruhaniyah semua. Apalagi orang yang mempunyai ilmu, maka wajib untuk mengamalkan dengan menyampaikannya pada orang lain. Jangan sampai ilmu yang dimiliki hanya seperti pohon yang tidak berbuah.

Seperti yang disebutkan dalam maqolah Arab, al ‘ilmu bila amalin, kassajari bila tsamarin. Pemahaman ini mengisyaratkan bahwa semua orang pun bisa menjadi dan dianggap sebagai guru, baik bagi diri, keluarga maupun masyarakat sekitarnya.

Idealnya, seorang guru harus bisa meneladani Nabi Muhammad SAW melalui sifat kerosulan beliau. Adapun sifat-sifat wajib yang ada dalam diri Rosul adalah ShidiqAmanah, Tabligh, dan Fatonah. Jika tidak bisa meneladani secara sempurna, paling tidak keempat sifat tersebut harus menjadi ruh yang melambari niat dan acuan segala ucapan dan tindak laku kita sebagai seorang guru.

Sifat yang pertama adalah shidiq yang berarti jujur. Seorang guru harus menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran. Saat-saat ini, tampaknya nilai kejujuran sudah tidak begitu diutamakan. Tidak bermaksud merendahkan, nyatanya saat ini banyak sekali kaum terpelajar yang tergolong cerdik cendekia, namun potensi kepandaiannya itu digunakan menjadi senjata untuk merugikan orang lain.

Dalam masyarakat jawa biasanya disebut dengan idiom pinter nanging gawe minteri. Seorang guru yang menggenggam nilai kejujuran dalam ucapan, hati, dan perilakunya, ia bagaikan pelita yang menerangi jiwa anak didiknya.Guru ibarat sebuah kendhi yang berisi air. Jika dalamnya kendhi serta airnya bersih, maka yang dialirkan ke gelas, cangkir, dan wadah-wadah yang lain tentunya juga akan bersih.
Selanjutnya sifat rosul yang kedua, yaitu amanah atau dapat dipercaya. Seorang guru yang amanah pastilah ia akan bersungguh-sungguh dari hati untuk melaksanakan setiap tugas yang diembannya.

Seorang guru dituntut untuk blakasutha, apa adanya, dan selalu mengedepankan kesungguhan dalam pengabdiannya. Jika sedikit saja sikap tidak amanah itu menghinggapi diri seorang guru, maka bagaimana bisa menjamin anak didiknya yang notabene adalah seorang generasi penerus bangsa bisa akan ngugemi kesungguhan? Jika seorang pendidik saja sudah akrab dengan istilah khianat, bagaimana dengan keadaan anak-anak yang berada dalam didikannya?

Pada sifat tabligh, seorang guru harus bisa menyampaikan semua ilmunya pada anak didiknya tanpa harus ada yang disembunyikan. Terkait macam-macam personal guru perihal cara menyampaikan ilmu, penulis pernah mendengar sebuah lelucon tapi juga bisa untuk diambil pelajaran. Bahwa seorang guru dalam lembaga pendidikan tidaklah sama dengan guru dalam dunia persilatan.
Seorang guru dalam dunia pendidikan akan memberikan semua ilmu yang ia punya pada muridnya. Ia pun akan merasa sangat bangga dan bahagia jika ada anak didiknya yang bisa melebihinya dalam hal keilmuan maupun pengetahuan.

Lain halnya dengan guru dalam perguruan silat, meskipun semua ilmu kanuragan telah ia turunkan ke muridnya, namun tetap ia masih menyimpan satu ilmu pamungkas yang suatu saat bisa diandalkannya, misalnya dalam keadaan genting ketika sang murid asuhannya ada yang berkhianat dan memusuhinya. Begitulah yang sering diceritakan dalam film-film dunia persilatan.

Selanjutnya pada sifat fathonah yang berarti cerdas. Seorang guru haruslah mempunyai berbagai macam kecerdasan. Cerdas di sini tidak berarti hanya  dalam ranah IQ (Intelligence quotient) saja, namun juga termasuk EQ (emotional quotient) dan SQ (spiritual quotient).

Dalam proses transfer ilmu pengetahuan, IQ mutlak dibutuhkan. Namun sebagai pendidik, seorang guru harus membekali dirinya dengan kecerdasan emosional agar mampu dengan mudah berkomunikasi dan memahami anak didiknya. Sedangkan seorang guru yang menguasai kecerdasan spiritual, ia akan dengan mudah melambari semua pengabdian dan perjuangannya lillahi ta’ala.

Jika sudah demikian, maka semua aktifitas, baik proses transfer ilmu pengetahuan maupun mendidik akan berada dalam lingkar ikhtiar dhohir dan batin. Usaha untuk menjadikan anak didiknya sukses sejatinya tidak hanya berkutat pada proses pembelajaran saja, tetapi harus diiringi juga dengan tirakat dari guru tersebut dengan mendo’akan sang murid tiada putus.

Tugas yang diemban seorang guru sungguh amatlah berat. Karena guru adalah orang tua kedua bagi para murid, ia juga harus bertanggung jawab baik secara keilmuan, sikap dan perilaku yang telah diajarkan pada anak-anaknya.Tanggung jawab tersebut tidak hanya berakhir ketika sang anak sudah lulus sekolah. Karena secara batin, sanad keilmuan itu akan terus ada antara sang guru dengan anak muridnya. Bahkan sanad keilmuan tersebut masih tersambung hingga pada keilmuan gurunya guru tersebut hingga terus ke atas.

Hal inilah yang kemudian bisa menjadi sebab berkah dan manfaatnya ilmu yang dimiliki sang murid dikemudian hari, tentunya dengan prasyarat sang murid tetap menjaga ketawadhuannya pada gurunya. Karena sampai kapanpun, hubungan seorang guru dan murid tidak pernah mengenal kata bekas atau mantan.

Serba-Serbi Kegiatan Belajar Daring Peserta Didik Kelas 3








Serba-Serbi Kegiatan Belajar Daring Peserta Didik Kelas 3

Selama masa pandemi dan adanya pemberlakuan PPKM, peserta didik MI Ma'arif NU Islamiyah Kendal melaksanakan pembelajaran secara online.
Berikut ini foto-foto dari anak-anak kelas 3 yang memamerkan hasil belajarnya menggambar "Part of Body". Berbagai kendala tentu saja ada, semisal HP yang harus bergantian dengan saudara atau orang tua, paketan internet yang terbatas serta sinyal yang "mendrip-mendrip". Meskipun demikian, anak-anak dengan didampingi orang tua sangat antusias mengikuti pembelajaran online.

Al Adabu Fauqol 'Ilmi



Al adabu fauqol 'ilmi...

Tak ada yang lebih utama didahulukan bagi para penuntut ilmu selain adab (tata krama). Dengan adab, seorang murid akan lebih mudah menerima dan memahami ilmu yang disampaikan sang guru.
Orang berilmu memang sangat istimewa. Bahkan di dalam Al Qur'an pun menyebutkan tentang keutamaan orang-orang yang berilmu. Namun dalam proses memperoleh ilmu, ada beberapa prasyarat yang "labuda", ora keno ora, harus digenggam erat para penuntut ilmu.
Satu di antara yang paling penting adalah mempunyai adab, akhlaq, tata krama. Baik terhadap sesama, ilmu, tempat belajar dan lebih-lebih pada seorang guru. Jika sudah demikian, kunci keberkahan dan kemanfaatan ilmu pasti akan terbuka.
Jangan heran jika ada seorang murid di sekolah dulu, secara ilmu biasa bahkan boleh dikatakan kurang atau jauh dari kata pandai. Tetapi dikemudian hari, ketika sudah menjadi dewasa dan hidup di tengah masyarakat, ia mendapatkan kemudahan hidup baik secara materi, ilmu, status sosial maupun lainnya. Bisa jadi hal tersebut karena berkah dari ketawadhu'annya dalam berproses menjalani setiap langkah hidupnya.
Adab harus diajarkan sejak dini pada anak-anak bahkan sebelum ia mengenal abjad maupun alif hijaiyah. Ada banyak cara pembiasaan yang bisa dilakukan di lingkungan sekolah. Salim pada bapak ibu guru, misalnya. Sederhana, tetapi jika dilakukan secara istiqomah, maka kebiasaan tersebut akan tertanam di dadanya menjadi sebuah karakter sang anak sampai kelak ia dewasa.
اَللهم اجْعَÙ„ْÙ†َا ÙˆَاَÙˆْلاَدَناَ ÙˆَاَزْÙˆَاجَÙ†َا ÙˆَتَلاَÙ…ِÙŠْØ°َناَ ÙˆَجَÙ…َاعَتَÙ†َا Ù…ِÙ†ْ اَÙ‡ْÙ„ِ الْعِÙ„ْÙ…ِ ÙˆَاَÙ‡ْÙ„ِ الْØ®َÙŠْرِ ÙˆَاَÙ‡ْÙ„ِ التُّÙ‚َÙ‰ ÙˆَاَÙ‡ْÙ„ِ الْعِبَادَØ©ِ ÙˆَاَÙ‡ْÙ„ِ اْلاِسْتِÙ‚َامَØ©ِ ÙˆَاَÙ‡ْÙ„ِ السَّعَادَØ©ِ ÙˆَاَÙ‡ْÙ„ِ اْلقُرْآنِ ÙˆَاَÙ‡ْÙ„ِ الصِّÙŠَامِ ÙˆَاَÙ‡ْÙ„ِ الصَّدَÙ‚َØ©ِ ÙˆَاَÙ‡ْÙ„ِ الصَّلاَØ©َ بِالْجَÙ…َاعَØ©ِ ÙˆَاَÙ‡ْÙ„ِ الدَّعْÙˆَØ©ِ ÙˆَاَÙ‡ْÙ„ِ الْجَÙ†َّØ©ِ .امين

Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku





Ngelmu iku kelakone kanthi laku...

Salah satu metode pembelajaran yang efektif adalah praktik. Anak-anak dengan berbagai tipe belajar (visual, auditory, kinestetik dsb) lebih bisa terakomodasi kecenderungannya.
Dalam pembelajaran praktik, alat peraga sangat mutlak dibutuhkan. Baik sebagai stimulan maupun sarana penyampaian materi.
Belajar di kelas tidak hanya tentang rutinitas formal, proses transfer ilmu pengetahuan dari seorang guru pada peserta didik saja. Seorang guru di kelas, ia harus bisa menjadi orang tua, saudara dan bahkan teman.
Jika anak-anak sudah riang hatinya, tenang fikirannya, maka materi apapun yang disampaikan seorang guru akan lebih optimal diserap dalam sanubarinya.
Misalnya saja dalam pembelajaran Bahasa Jawa, anak-anak bisa lebih cepat mengenali, mengerti dan memahami tokoh serta cerita pewayangan ketika ada alat peraganya yang berupa wayang kulit. Selain untuk memudahkan belajar, juga sebagai sarana mengenalkan budaya Nusantara yang adiluhung tersebut pada para tunas bangsa sejak dini.
Ket.
Foto diambil saat masih dibolehkannya tatap muka terbatas, sebelum ada PPKM tentunya.



Esensi dari qurban bukanlah daging dan darah udhiyah (binatang sembelihan) yang tumpah, tetapi lebih pada ikhtiar mendekatkan diri kepada Allah (taqorruban ilallah) dengan dilambari ketaqwaan dan keimanan di dada.

Semoga event Idul Adha ini menjadi tarbiyah bagi kita semua. Aamiin...
SELAMAT HARI RAYA IDUL ADHA 1442 H
 
Copyright © 2014 MI MA'ARIF NU ISLAMIYAH KENDAL. Designed by OddThemes